Ibnu Budiman, Peneliti World Resources Institute Indonesia
Kualitas riset dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia sering dianggap masih rendah. Sebagian besar risetnya dianggap ‘low context’ karena focus pada persoalan-persoalan kecil yang seringkali tidak relevan dengan tantangan kekinian. Selain itu terdapat juga permasalahan dari penggunaan metodologi dan teori yang cenderung tidak up to date. Hal ini kemudian dianggap berdampak pada tingkat diseminasi dari riset-riset tersebut.
Berdasarkan sistem rangking Scimago, Indonesia saat ini berada di peringkat 48 dunia dengan publikasi 106.501 riset terindeks scopus yang dikutip oleh para peneliti. Kutipan menunjukkan bahwa riset tersebut digunakan sebagai referensi oleh riset lainnya dan menjadi salah satu indikator kualitas riset.
106.501 riset tersebut berasal dari 37 jurnal yang terindeks scopus, sebagian besar berada pada level Q3[1] dan Q4, hanya 12 jurnal yang berada level Q2 dan 1 jurnal Q1, serta sebagian jurnal juga tidak aktif secara konsisten. Hal ini menunjukkan kualitas dan produktifitas sejumlah jurnal riset di Indonesia masih relatif rendah, dibandingkan dengan negara ASEAN lain seperti Singapore, Malaysia, dan Thailand. Malaysia memiliki 95 jurnal ter indeks scopus dengan 16 diantaranya berada di level Q2 dan 2 jurnal di level Q1.
Angka di atas menunjukkan bahwa dari sisi persentase, Indonesia sebenarnya lebih unggul karena 30% dari jurnalnya berada di level Q2, sementara jurnal Malaysia hanya 16% yang di level Q2. Ini berarti secara kualitas Indonesia tidak kalah, namun masalahnya ada pada kuantitas. Jika kuantitas jurnal riset Indonesia bisa ditambah, maka ada kemungkinan ini akan meningkatkan kemunculan riset-riset yang berkualitas.
Saat ini, jumlah publikasi riset yang ter indeks scopus dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, masing-masing sekitar 200.000, dua kali lipat dari jumlah publikasi riset Indonesia. Hal ini berkaitan dengan jumlah peneliti di Indonesia yang hanya 1.071[2] per satu juta penduduk dan produktivitasnya masih di angka 2 persen, jauh dibawah Malaysia dan Singapura sudah mencapai 2.590 dan 7.000 per satu juta penduduk dan produktifitas lebih tinggi. Selain itu, Malaysia dan Singapura juga menganggarkan dana penelitian sekitar 2% dari jumlah PDB negara, sementara Indonesia hanya 0.3 %.
Namun jumlah peneliti di Indonesia berbanding terbalik dengan jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mencapai 4.504 institusi. Indonesia menjadi negara dengan perguruan tinggi terbanyak di ASEAN, Malaysia di peringkat ketiga dengan 488 perguruan tinggi, Thailand kelima dengan 141 perguruan tinggi, dan Singapura di peringkat delapan dengan hanya 19 perguruan tinggi- namun menjadi negara ASEAN dengan rangking tertinggi dalam kualitas riset.
Data di atas menunjukkan bahwa permasalahannya adalah rendahnya jumlah dan produktivitas peneliti di perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sejumlah hal, diantaranya minat meneliti dan publikasi ilmiah yang belum merata di tingkat dosen dan juga beban Tri Dharma yang berat untuk melakukan pengajaran[3], penelitian-publikasi, dan pengabdian masyarakat.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan di atas, sejumlah langkah sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah dan perguruan tinggi, diantaranya dengan menyediakan insentif tambahan bagi publikasi riset di jurnal level Q1 dan Q2. Kebijakan ini tampak berpengaruh, peringkat Indonesia naik dari 57 di 2014 menjadi 48 di 2020. Namun ini tetap masih di bawah Thailand, Malaysia, dan Singapura. Sejumlah perbaikan masih dibutuhkan, terutama dengan menambah anggaran, jumlah peneliti dan meningkatkan produktivitasnya. Hal ini bisa didorong dengan sejumlah kebijakan di level pemerintah dan perguruan tinggi.
Kebijakan Pemerintah
Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas riset Indonesia, dibutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Dimulai dari sisi anggaran, pemerintah harus terus meningkatkan alokasi dana untuk pengembangan penelitian, disertai dengan upaya kerja sama dengan pihak swasta dan pendanaan internasional. Anggaran hibah riset yang lebih tinggi bisa digunakan untuk merekrut lebih banyak peneliti dan membantu mereka untuk memproduksi riset yang lebih bermutu dan publikasi open access pada jurnal bereputasi.
Pemerintah juga harus membuat profesi riset menjadi lebih menarik. Hal ini bisa dilakukan dengan terus meningkatkan gaji dan insentif peneliti. Kemudian, untuk membuat profesi peneliti menjadi lebih berarti, pemerintah harus menggunakan riset-riset yang dipublikasi di jurnal Q1 dan Q2 sebagai bahan pertimbangan kebijakan bagi dan mendorong sektor swasta dan juga kelompok masyarakat untuk melakukan hal yang sama. Hal ini juga akan memperkuat analisis kebijakan dan mendorong inovasi menjawab kebutuhan industri.
Selanjutnya, pemerintah juga perlu lebih mendorong beasiswa-beasiswa yang ada saat ini kepada orientasi riset agar melahirkan lebih banyak peneliti baru berkualitas.
Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah perlu merubah aplikasi skema Tri Dharma perguruan tinggi. Kewajiban mengajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat bisa lebih dibagi disesuaikan dengan sumber daya dosen saat ini. Para dosen yang memang memiliki produktivitas tinggi dalam riset dan publikasi bisa dikurangi/dihilangkan kewajiban mengajar dan pengabdian langsungnya kepada masyarakat. Lalu, sistem-sistem pelaporan administratif dan aplikasi hibah yang paper work juga perlu dikurangi/disederhanakan untuk mengurangi beban birokrasi bagi dosen peneliti.
Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan arahan topik yang lebih spesifik bagi dosen peneliti. Arahan ini tidak boleh hanya berpedoman pada prioritas pembangunan nasional, namun juga melihat pemetaan latar belakang keilmuan para peneliti saat ini. Contoh, Kementerian tidak bisa hanya berfokus pada bidang pangan, kesehatan, dan transportasi, ketika sebagian besar peneliti di Indonesia berasal dari bidang yang berbeda. Penyusunan agenda riset harus melibatkan ragam universitas, departemen, fakultas, dan pusat studi, dan berlangsung dua arah.
Situasi pasca pandemik nanti bisa menjadi momentum untuk pemerintah dan perguruan tinggi untuk memperbaharui agenda riset nasional yang mendukung kebijakan pembangunan yang lebih adaptif terhadap risiko global. Riset terkait ini juga sedang dicari saat ini oleh sejumlah jurnal internasional bereputasi.
Kreatifitas Perguruan tinggi
Untuk mendorong setiap perguruan tinggi melahirkan lebih banyak peneliti, dibutuhkan peningkatan skema khusus yang melibatkan insentif yang kompetitif. Beberapa tahun terakhir, sudah ada skema kewajiban publikasi ilmiah pada jurnal sebagai persyaratan kelulusan mahasiswa. Hal ini harus diikuti dengan skema mentoring dosen kepada mahasiswa yang berpotensi menjadi peneliti. Arus kapitalisme saat ini membuat lebih banyak lulusan perguruan tinggi lebih tertarik pada gaji besar di perusahaan multi nasional. Perguruan tinggi di Indonesia harus mampu menawarkan skema insentif yang berbeda untuk menarik para lulusan yang berpotensi menjadi peneliti, tidak mesti dalam bentuk gaji besar, bisa jadi dalam bentuk dukungan untuk lanjut studi di universitas terbaik dunia.
Selain itu, mentoring/diskusi antar peneliti senior dengan dosen muda juga wajib dilakukan. Hal ini menjadi sarana untuk meningkatkan kualitas riset masing-masing peneliti untuk menjadi lebih relevan dengan tantangan kekinian.
Untuk meningkatkan produktivitas, universitas perlu memberikan tambahan insentif untuk memotivasi dosen untuk meneliti dan memberikan mereka sosialisasi tentang cara mengakses insentif tersebut. Untuk sumber dana bagi insentif, universitas tidak boleh hanya bergantung pada anggaran pemerintah. Usaha pencarian dana dari pihak swasta dan internasional perlu digalakkan.
Ketika mendapatkan dana hibah, selain untuk pendanaan riset, universitas juga bisa menggunakan dana untuk peningkatan fasilitas riset seperti laboratorium. Besaran pendanaan riset harus memadai untuk penelitian berkualitas dan publikasi bereputasi. Proses administrasi pencairan dana harus tidak merepotkan untuk menghemat energi para peneliti. Hal ini bertujuan agar peningkatan besaran dana penelitian berjalan lurus dengan penambahan luaran penelitian.
Antar fakultas atau universitas juga bisa saling mendukung, beberapa fakultas di sejumlah universitas sudah memiliki produktivitas penelitian dan publikasi internasional yang cukup baik. Hal ini terjadi karena adanya integrasi penelitian dan pengajaran, fakultas memiliki jurnal sendiri yang ter indeks, dan pengelolaan data yang inklusif. Hal ini bisa diterapkan secara lebih luas di fakultas/universitas lain yang produktivitas penelitiannya masih rendah.
Selain fakultas, sejumlah penelitian dari pusat studi di lingkup universitas yang melahirkan sejumlah rekomendasi kebijakan juga harus didorong untuk menjadi publikasi jurnal.
Di level individu, peningkatan kapasitas dosen dalam meneliti dan menuliskan publikasi juga diperlukan. Hal ini bisa dilakukan tak cuma dengan training, namun juga dalam bentuk kerja sama universitas dengan lembaga-lembaga riset internasional dan Balitbang di Kementerian.
– –
Lebih lanjut, dukungan dari media juga dibutuhkan untuk diseminasi masif hasil riset melalui berita. Hal ini membantu memberi tahu pemerintah tentang keberadaan riset-riset yang berkualitas dan juga memotivasi lebih banyak orang untuk menjadi peneliti. Selain itu, sejumlah riset sosial yang diberitakan juga bisa menjadi bahan pengambilan keputusan bagi kehidupan masyarakat. Kehidupan sosial dan ekonomi bangsa yang berbasis pada ilmu pengetahuan dari riset menjadi salah satu faktor pendukung kemajuan suatu negara.
[1] Q1 paling tinggi dan Q4 paling rendah, dalam indeks scopus
[2] Jumlah dosen dengan nomor induk di Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) mencapai 247.157 orang
[3] Rasio jumlah mahasiswa dan dosen cukup tinggi, serta sebagian besar mahasiswa adalah program sarjana (belum memadai kapasitas memadai dalam penelitian dan publikasi).