Pentingnya Membaca yang Harus Haqers Ketahui
Oleh: Muhammad Syafi’ie el-Bantanie, Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan & Founder Ekselensia Tahfizh School
Setiap kali diskusi dan mengangkat tentang literasi, biasanya orang akan mengutip wahyu pertama turun, yaitu surat Al-‘Alaq ayat 1 sampai 5 sebagai landasan ideologis tentang pentingnya literasi. Namun sayangnya, hampir setiap kali wahyu pertama ini dikutip berhenti sampai ‘iqra’ saja, bahwa inilah perintah membaca. Padahal, jika kita memahami teks ayat ini dengan baik, semestinya lafal ‘iqra’ tidak boleh dipisahkan dari lafal selanjutnya ‘bismirabbik’. Ini sangat mendasar dan konsekuensi lanjutannya bisa berbeda jauh.
Mari kita analisis dari aspek kebahasaan. Karena Al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab, tentu saja kita menganalisisnya dari perspektif Bahasa Arab. Dan, kita juga memahami bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam struktur gramatika Bahasa Arab yang paling tinggi, indah, dan mendalam.
‘Iqra’ adalah fi’il amr (kata kerja perintah) dengan fa’il-nya (pihak yang memerintah) adalah Allah subhaanahu wata’aala. Sedangkan, ‘bismirabbik’ menjadi hal (keterangan kondisi) dari iqra. Karenanya, bismirabbik tidak boleh dipisahkan dari iqra. Tanpa bismirabbik belum tentu iqra yang dilakukan seseorang sesuai dengan yang dimaui oleh Allah. Karena, justru iqra bernilai ketika digandengkan dengan bismirabbik.
Sebagai gambaran, misalnya ada perintah, “Makanlah dengan membaca doa!” Frasa ‘dengan membaca doa’ inilah yang akan menjadikan makan yang dilakukan bernilai kebaikan. Jika makan tanpa membaca doa, maka ia hanya bernilai menghilangkan lapar. Namun, tiada nilai kebaikan atau pahala yang didapat.
Demikianlah, antara iqra dan bismirabbik. Membaca dalam kerangka bismirabbik-lah yang akan menjadikan membaca bernilai ibadah. Sedangkan, membaca tanpa kerangka bismirabbik hanya bernilai menambah pengetahuan. Belum tentu akan ada kebermanfaatan ilmu di dalamnya. Bisa jadi pengetahuan atau ilmu yang didapat dari membaca tersebut justru malah bernilai keburukan ketika menjadikannya sombong.
Berapa banyak orang yang bacaannya segudang, tetapi hanya untuk prestise dan status sosial agar disebut cendekiawan. Ilmu yang diperolehnya dari membaca itu justru malah membuat dirinya semakin lihai membelokkan penafsiran Al-Qur’an dan menjualnya untuk kepentingan dunia. Berapa banyak orang yang bacaannya segudang, tetapi justru semakin menjauh dari Allah dan berani menentang syariat. Ini karena membacanya bukan dalam kerangka bismirabbik. Maka, hasilnya bisa menyimpang jauh dari kebenaran.
Dengan demikian, kita mesti memahami bahwa membaca yang diperintahkan dalam Islam adalah membaca dalam kerangka bismirabbik. Maksudnya, kita membaca, menelaah, meneliti, dan mengamati untuk semakin meningkatkan keimanan kita kepada Allah. Kita membaca agar semakin bisa meresapi dan menghayati cita rasa kebesaran dan keagungan Allah.
Bahkan, lafal lanjutan bismirabbik adalah ‘alladzi khalaq’ (yang telah menciptakan). Artinya, jika kita belum mampu merasakan kebesaran dan keagungan Allah yang Maha Sempurna dalam berbagai sendi kehidupan dan alam semesta ini, maka cukuplah hayati kebesaran Tuhanmu sebagai pencipta dirimu, ‘khalaqal insaana min ‘alaq’ (Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah).
Renungkan betapa ajaibnya penciptaan diri kita. Mulai dari konsepsi sel sperma dan sel telur, lalu terjadi pembuahan, berkembang menjadi zygot, fetus, dan seterusnya. Betapa rumit, kompleks, dan canggihnya sistem tubuh kita. Amati sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem metabolisme, sistem reproduksi, dan seterusnya. Nyata sekali tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah pada penciptaan diri kita.
Maka, mari kita merefleksi diri, berapa banyak buku yang sudah dibaca? Apakah berbanding lurus dengan peningkatan keimanan kita kepada Allah, syahdunya hati kita merasakan kebesaran dan keagungan Allah, dan kokohnya tekad kita untuk memperjuangkan kejayaan Islam serta kemaslahatan umat. Inilah spirit iqra bismirabbik