Assalamualaikum Haqers, selamat menyambut Senin dengan penuh semangat. Supaya makin semangat kami ingin Haqers membaca tulisan di bawah agar niat untuk menghafal Alquran tak hilang begitu saja, kami harap tulisan di bawah mampu menginspirasi aamiin.
Saya mulai menghafal Alquran saat berumur 20 tahun, belum lama sejak saya memutuskan untuk mengenakan jilbab. Kebetulan rumah saya dekat dengan pondok pesantren tahfiz quran yang baru didirikan. Saat itu tahun ’95, menghafal Alquran bukanlah sesuatu yang bisa membanggakan, bahkan cenderung diremehkan. Untuk apa menghafal quran? Bisa apa setelahnya? Apa keuntungannya? Kalimat pembuka yang beliau tuturkan sore tadi saat aku berkunjung ke rumahnya yang sederhana di selatan Yogyakarta.
Senyum manis, keramahan dan kesahajaannya terlihat begitu mewah. Saya lahir di lingkungan tentara. Bapak seorang tentara biasa, yang terkadang satu bulan sekali baru pulang. Saya tidak punya riwayat mondok, sekolah saya dari SD sampai SMA adalah sekolah negeri. Karena pondok tahfiz itu memperbolehkan orang dari luar untuk ikut belajar di sana, maka saya ikut. Jangan dibayangkan ikut program itu hanya duduk manis kemudian menghafal. Tidak begitu.
Teman-temanku ada yang kuliah, ada yang bekerja, ada yang punya kewajiban membantu orang tuanya dan kegiatan yang lain. Begitu juga saya. Setiap hari kami diberi target menghafal satu halaman Alquran, disetorkan setiap selesai subuh. Kemudian kami pulang dan beraktivitas. Zuhur kami kembali untuk mengulang membaca. Setelah Asar kembali di murojaah (setoran dan mengulang kembali) hafalan dan membaca berulang-ulang ayat yang akan kami hafal untuk keesokan harinya. Begitu seterusnya. Kalau bersungguh-sungguh dan sabar, dalam waktu dua tahun akan selesai 30 juz. Kalau saya menghafal dua setengah tahun untuk selesai 30 juz. Saat sudah hafal 16 juz, saya merasa sangat jenuh dan malas mulai menyerang. Saya berhenti menghafal selama tiga bulan, saat itu saya hanya mengulang-ulang hafalan saya yang 16 juz itu. Setelah tiga bulan, saya melanjutkan kembali menghafal.
Dan aku pun bertanya, “Apa motivasi terbesar ibu untuk menghafal quran saat itu? Umur 20 tahun itu rasanya begitu banyak godaan, apalagi untuk saya, Bu…” Apa ya? Saat itu, saya hanya penasaran dengan mbak yang dinikahi tetangga saya, yang akhirnya membuat pondok pesantren tahfiz itu. Beliau masih muda tapi hafal Alquran. Itu jugalah yang membuat tetangga saya menikahinya dan membawanya ke daerah kami. Dalam hati saya berkata, masa iya mbak itu bisa hafal Alquran saat muda, sementara saya tidak? Saya juga seharusnya bisa. Penasaran itulah yang membawa saya ke pondok itu, kemudian mengajukan diri untuk ikut menghafal quran. Selama menghafal, saya selalu muroja’ah dengan mbak itu. Ternyata penasaran saya terjawab, menghafal quran tidak sesulit yang dibayangkan. Kadang kita terlalu sering memberi pemakluman pada diri kita, meremehkan kemampuan kita, bahwa menghafal itu sulit, bahasa yang digunakan bukan bahasa kita, bacaan quran kita belum lancar, masih banyak pekerjaan lain, masih banyak hal negative yang lekat pada diri kita. Padahal tidak seperti itu.
Berinteraksi dengan quran, itu yang utama. Dilihat dan dibaca. Kalau hanya ada di angan-angan atau sekadar membaca tips agar bisa menghafal sementara Alquran tak pernah disentuh, mustahil akan menghafalnya. Bagaimana bisa mencintainya? Menjaga hafalan, itu yang paling berat.