CALL US NOW 08 123 123 30 71
DONASI

Matahari Terbit Dari Timur

 

Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Peneliti Gugus Tugas Papua UGM

 

“Pendidikan bukanlah proses alienasi seseorang dari lingkungannya, atau dari potensi alamiah dan bakat bawaannya, melainkan proses pemberdayaan potensi dasar yang alamiah bawaan untuk menjadi benar-benar aktual secara positif bagi dirinya dan sesamanya.”

Butet Manurung.

 

Sudah banyak tulisan membahas penyebab ketertinggalan pendidikan tinggi diluar Jawa dengan di Jawa, tetapi hanya sedikit tulisan yang mampu menguraikan permasalahan tersebut bersama dengan solusi taktisnya. Tulisan ini hadir untuk menjelaskan fenomena tersebut dengan berfokus pada realitas praktik pendidikan di Papua. Hal ini dilatarbelakangi pengalaman penulis dalam menangani program percepatan pembangunan pendidikan dan pendampingan secara langsung kepada mahasiswa maupun calon mahasiswa Papua asal Kabupaten Mappi dan Kabupaten Puncak selama setahun belakangan.

Dari hasil analisa dan pengamatan secara langsung, terdapat tiga persoalan mendasar yang membuat kualitas pendidikan di Papua jauh tertinggal. Pertama, anak-anak asli Papua banyak terlahir dengan kualitas gizi yang rendah (stunting). Menurut hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 diketahui bahwa prevalensi stunting di Papua tergolong tinggi, yakni sebesar 27,9% (standar WHO sebesar 20%) (BKKBN, 2019). Hal tersebut berpengaruh pada perkembangan fisik dan kecerdasan otak. Kedua, rendahnya kualitas belajar. Hal ini dapat terjadi karena guru yang kompeten dan penuh komitmen jumlahnya terbatas, Akibatnya, banyak anak-anak yang sudah masuk ke SMP, SMA bahkan perkuliahan tidak mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan baik dan benar (Purwoko, 2020). Ketiga, rendahnya kesadaran pemerintah dan masyarakat tentang pentingnya pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui rendahnya Angka Harapan Lama Sekolah (AHLS), yaitu 10.83 tahun (setara dengan kelas X-XI SMA) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang hanya 60.06 (dibawah rata-rata nasional) (BPS Papua, 2019).

Ketiga persoalan tersebut ibarat penyakit kronis yang sulit untuk dicarikan obatnya. Pasalnya, berbagai intervensi yang dilakukan baik pemerintah pusat maupun daerah selama ini dinilai belum mampu menyentuh akar persoalan pendidikan di Papua, yakni memastikan lahirnya generasi bangsa yang sehat, cerdas, dan bahagia. Jangankan kita berpikir perguruan tinggi di Papua bisa masuk jajaran kampus terbaik dunia atau bahkan sekadar bersaing dengan kampus papan atas di Indonesia, seperti UGM, UI, dan ITB kalau membenahi urusan tentang pelayanan dasar pendidikan saja masih belum mampu. Ketiadaan guru di sekolah, bangunan sekolah yang rapuh bahkan tidak ada, hingga tata kelola pendidikan yang buruk menjadi bayang-bayang permasalahan pendidikan di Tanah Papua.

Ketidakmampuan itu patut dijadikan refleksi bersama. Bayangkan saja, tahun ini Indonesia akan memasuki usianya yang ke-75. Entah tema apa yang akan diangkat nantinya dalam perayaan kemerdekaan Indonesia. Yang jelas, tahun lalu pemerintah mengusung tema “SDM Unggul, Indonesia Maju”. Secara pribadi penulis beranggapan bahwa tema tersebut masih sangat relevan agar menjadi semangat bagi pemerintah dan segenap bangsa dalam mewujudkannya.

Anggapan tersebut bersumber pada keyakinan bahwa persoalan pendidikan di Papua merupakan persoalan struktural, sehingga penyelesaiannya membutuhkan strategi-strategi terstruktur. Adapun strategi yang harus dilakukan dalam rangka mengejar ketertinggal tersebut, antara lain:

Pertama, perlu adanya lembaga ad hoc yang bertugas untuk melakukan percepatan pembangunan di Papua. Lembaga ini berperan untuk memegang kendali pembangunan sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial-budaya dengan melibatkan para tokoh intelektual, pemuka agama, dan pemerintah daerah (tiga tungku). Tim ini bekerja membuat roadmap “Pembangunan SDM Orang Asli Papua (OAP) Yang Unggul” yang jelas dan aplikatif serta memastikan keterlaksanaannya. Bila perlu, seluruh anggaran terkait pembangunan Papua yang ada di kementerian/lembaga dialihkan ke lembaga ini.

Kedua, memperluas akses dan memberikan standar khusus bagi para lulusan asal Papua untuk mendapatkan beasiswa dari LPDP (Afirmasi Indonesia Timur). Para lulusan perguruan tinggi baik dalam dan luar negeri nantinya diwajibkan kembali ke daerah asal setelah menyelesaikan studi magister atau doktoral untuk mengisi berbagai posisi baik sebagai akademisi, professional, bahkan membuka peluang kewirausahaan sosial.

Ketiga, meningkatkan kualitas tata kelola pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas SDM. Pemerintah daerah harus berinovasi, seperti yang dilakukan di Kabupaten Puncak dan Kabupaten Mappi yang mengirimkan Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) dari seluruh Indonesia. Para guru tersebut disebar ke seluruh distrik untuk mengisi SD, SMP, dan SMA/K yang kekurangan guru. Selain itu, lulusan SMA/K dari kedua kabupaten tersebut juga dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti pembekalan persiapan masuk perguruan tinggi hingga pendampingan selama studi di perguruan tinggi tujuan. Mereka diasramakan, dijamin ketercukupan gizinya, dan mendapatkan berbagai fasilitas terbaik. Kedua program tersebut adalah upaya untuk memutus mata rantai kebodohan dan tercipta atas inisiatif dari pemerintah daerah bekerjasama dengan UGM sebagai perguruan tinggi dengan reputasi akademik yang baik di Jawa. Hal ini sangat bagus dan perlu direplikasi oleh pemerintah daerah lain di Papua.

Keempat, perlu adanya riset kolaboratif antara perguruan tinggi Jawa dan Papua. Riset kolaboratif ini yang memungkinkan hadirnya pertukaran ide, termasuk ide-ide tentang pembangunan Papua yang selama ini terkesan menggunakan logika Jawasentris. Padahal, yang dibutuhkan untuk membangun Papua adalah logika “kembali ke lokal”, yakni dengan memuliakan adat, tradisi, dan budaya. Partisipasi dan pemberdayaan lokal menjadi kata kunci untuk mengejar ketertinggalan pembangunan di Papua, termasuk bidang pendidikan.

Keempat hal di atas merupakan pokok pikiran yang saya usulkan berdasarkan diskusi intenstif dengan para aktor dan pemerhati isu Papua serta pengalaman pendampingan. Keempat hal tersebut adalah strategi yang dapat diukur indikator keberhasilannya dalam rangka membangun pendidikan di Papua dari level dasar, menengah, hingga tinggi. Dengan begitu, kita punya harapan untuk menikmati sinar terbit matahari dari ufuk Timur yang selama ini tertutupi awan gelap.

8 Comments

  1. Hanif 5 years ago May 11, 2020

    mantaab mas alfath 😁

    REPLY
  2. Fajar 5 years ago May 11, 2020

    Analisis yang menarik, pengalaman pribadi pernah KKN di pedalaman Papua, menjadikan tulisan ini relevan untuk didorong agar dapat ditindak lanjuti oleh pemangku kebijakan untuk pendidikan Papua yg semakin lebih baik, Salam Pengabdian ^^9

    REPLY
  3. Abi 5 years ago May 11, 2020

    Mantap, inspiratif

    REPLY
  4. Naufal 5 years ago May 11, 2020

    Masya Allah keren sekali! Bangkit terus ufuk Timur!

    REPLY
  5. Isnan Hidayat 5 years ago May 11, 2020

    Bagus, Alfath. Aku suka penggunaan pisau bedah analisisnya. Nek anak Psikologi biasanya parsial.

    Advokasi memang butuh keberpihakan. Dan keberpihakan memang butuh pendalaman yg komprehensif.

    Bagiku, bisa menguak masalah Indonesia Timur akan membuat kacamata bernegara kita lebih bersih dan jernih.

    REPLY
  6. Nufusfazaa 5 years ago May 11, 2020

    mahasiswa papua yang sekolah di pulau jawa sudah banyak yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah tempat tinggalnya dengan nilai uang beasiswa yang cukup tinggi di jawa. Alokasi beasiswa dengan nilai uang yang cukup tinggi alangkah baiknya memang dibuatkan program berdaya bagi mahasiswanya sebagai bentuk kalaborasi pendidikan papua yang lebih baik. Agar uang pemerintah yang dikeluarkan menjadi manfaat dan tidak disalah gunakan.

    REPLY
  7. Btari Aktrisa 5 years ago May 11, 2020

    Bagus, cerdas. Semoga bisa direalisasikan oleh pemerintah daerah di Papua dan bisa dicontoh pemda lainnya.

    REPLY
  8. Btari Aktrisa 5 years ago May 11, 2020

    Sangat cerdas tulisannya, aplikatif!

    REPLY

Leave a reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *