Oleh: Tjoki Aprianda Siregar[1]
Masalah daya saing lulusan sebuah perguruan tinggi seringkali menjadikan tingkat penerimaan lulusan perguruan tinggi tersebut bekerja (Employability Rate) dalam satu tahun oleh lapangan kerja sebagai indikator. Employability Rate lulusan sebuah perguruan tinggi kadangkala dijadikan indikator publik menilai kualitas lulusan perguruan tinggi dimaksud. Faktor lain seperti kemungkinan semakin besarnya minat lulusan perguruan tinggi berwirausaha dan seberapa besar persentase lulusan sebuah perguruan tinggi yang telah berhasil dalam berwirausaha sering luput dari perhatian publik dan analisis pengamat dalam mengukur kualitas lulusan sebuah perguruan tinggi.
Fakta menunjukkan bahwa jumlah pengangguran terdidik lulusan perguruan tinggi selama kurun waktu 4 tahun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Dalam kurun waktu Agustus 2014 – Agustus 2018, data Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi kenaikan tingkat pengangguran dari 5,65% menjadi 5,89%. Padahal tingkat pengangguran lulusan diploma (D1 – D3) dalam periode yang sama turun dari 6,14% menjadi 6,02%, dan tingkat pengangguran lulusan SMK turun dari 9,15% menjadi 7,95%.
Meningkatnya jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi secara akumulatif 5,77% (dengan menggabungkan tingkat pengangguran tingkat sarjana dengan diploma 1 hingga diploma 3) dibandingkan menurunnya tigkat pengangguran lulusan sekolah menengah belum tentu berarti kualitas lulusan perguruan tinggi tidak sesuai standar atau ekspektasi pengguna (users), namun dapat saja perusahaan mensyaratkan pengalaman bagi pelamar untuk dapat diterima, keahlian para sarjana tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh dunia usaha atau industri, lulusan perguruan tinggi memilih belum mencari kerja karena pilihan (by choice), karena ingin merintis usaha bersama kawan-kawannya, atau secara sendirian berwirausaha.
Bertambahnya pengangguran mungkin pula disebabkan jumlah tenaga kerja baru lulusan perguruan tinggi tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Fenomena ini merupakan masalah klasik yang dihadapi negara mana pun, termasuk Indonesia. Dari fakta di atas, dapat diasumsikan bahwa jumlah lapangan kerja untuk lulusan perguruan tinggi yang ada terbatas, sementara jumlah lapangan kerja bagi lulusan sekolah menengah meningkat.
Permasalahannya adalah lulusan perguruan tinggi Indonesia yang menganggur umumnya enggan atau kurang berani berwirausaha. Karena untuk berwirausaha diperlukan modal yang tidak sedikit. Seandainya mengajukan pinjaman modal ke bank atau lembaga keuangan lainnya, mereka dihadapkan pada syarat-syarat yang cukup berat, terutfama terkait agunan yang diminta bank. Disamping itu, sebagian perguruan tinggi Indonesia tidak menyiapkan mereka untuk berwirausaha, dan lebih berorientasi menghasilkan lulusannya untuk mencari pekerjaan atau melamar kerja di perusahaan atau menjadi pegawai negeri sipil. Sejumlah perguruan tinggi mengadakan mata ajar Pendidikan Kewirausahaan, namun hanya sebatas pada teori-teori dan muatannya belum sepenuhnya aplikatif.
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi pada Maret 2018 mencatat sekitar 8,8% tingkat pengangguran saat itu atau setara dengan sekitar 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana, yang merupakan kondisi yang mengkhawatirkan, mengingat persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat dengan masuknya Revolusi Industri 4.0 ke Indonesia. Munculnya disrupsi teknologi sejak satu dekade terakhir menimbulkan tantangan bagi industri dan dunia kerja di Indonesia. Transaksi dengan pembayaran nir-tunai (cashless) dan korespondensi nir-kertas (paperless), munculnya banyak platform belanja, seolah melengkapi kemudahan dan kenyamanan publik setelah sebelumnya.
Disrupsi teknologi akibat berkembangnya inovasi-inovasi baru memungkinkan industri menggunakan mesin-mesin kerja yang terotomasi dan mengurangi penggunaan tenaga manusia dalam proses produksi. Konsekuensinya semakin sedikit tenaga manusia yang dipekerjakan. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti), Mohamad Nasir (saat ini Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) pada tanggal 26 Maret 2018 menyebut perguruan tinggi dan mahasiswa harus bisa beradaptasi dengan disrupsi teknologi dan memiliki kompetensi jika ingin bertahan dalam persaingan.
Perlu dicermati bahwa perguruan tinggi di Indonesia mengemban misi Tridharma, yakni (i). melakukan kegiatan pengajaran; (ii). riset atau penelitian, dan; (iii). pengabdian masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa ada perguruan tinggi yang lebih menekankan aktivitas pada kegiatan riset guna menemukan inovasi baru daripada pengajaran dan pengabdian masyarakat. Kegiatan belajar-mengajar di banyak kampus di Indonesia masih cenderung berjalan “business as usual”, dengan berorientasi menghasilkan lulusan tiap tahunnya, tanpa merasa berkewajiban membantu mereka mengidentifikasi profesi kerja yang mungkin bisa ditekuni, atau menyiapkan mereka memasuki dunia kerja.
Perkembangan terkini yang mungkin dapat membuka harapan baru bagi upaya peningkatan daya saing dan kualitas lulusan perguruan tinggi Indonesia adalah konsep “Kemerdekaan Belajar” dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang pertama kali diumumkan ke publik pada Desember 2019, yang mengusung esensi kemerdekaan berpikir yang perlu terjadi di guru, dan baru setelah itu murid. Analoginya di level pendidikan tinggi adalah konsep “Kampus Merdeka” yang oleh Menteri Nadiem dirilis ke publik pada minggu terakhir Januari 2020. Terdapat 4 poin dari konsep ini: (i). mengubah status perguruan tinggi negeri (PTN) yang semula satuan kerja (satker) dan badan layanan umum (BLU) menjadi badan hukum atau PTN-BH; (ii). menyederhanakan proses akreditas; (iii). PTN dan perguruan tinggi swasta (PTS) diberikan otonomi oleh pemerintah untuk membuka prodi baru; dan (iv). perguruan tinggi diminta mengalokasikan dua semester bagi para mahasiswanya untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat bagi mereka di luar kelas selama sedikitnya dua semester, seperti magang, kerja praktik, mengajar di salah satu sekolah di daerah terpencil, melakukan riset dengan dosen, atau membantu mahasiswa tingkat pendidikan lebih tinggi (S2 atau S3) melakukan penelitian.
Mendalami masalah-masalah perguruan tinggi Indonesia di atas, kita mungkin perlu mempelajari pengalaman Singapura dalam membangun sistem pendidikannya hingga dapat menjadikan dua dari 7 universitasnya masuk ke dalam peringkat atas terbaik di kawasan Asia Pasifik. Faktor penting yang mempengaruhi anak-anak muda Singapura memiliki semangat belajar tinggi, hingga setelah lulus mereka juga berdaya saing tinggi di dunia kerja. Pertama, faktor kebiasaan mereka sejak kecil untuk “menghindari kekalahan dalam persaingan”, dan kedua, kebiasaan mereka sejak kecil pula untuk “menghindari berbuat salah”. Baik orang tua maupun tempat mereka bersekolah hingga dewasa menerapkan nilai-nilai yang disebut “kiasu” (tidak mau kalah) dan “kiasi” (tidak mau berbuat keliru) yang sesungguhnya berasal dari budaya Hokkien di Tiongkok. Nilai-nilai ini ditanamkan dari unit terkecil masyarakat, yakni keluarga, sejak mereka masih kanak-kanak.
Memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi seperti diuraikan sebelumnya, dan belajar dari pengalaman Singapura, pemerintah dan segenap pemangku kepentingan di Indonesia kiranya perlu mempertimbangkan sejumlah pilihan solusi sebagai berikut:
- Melakukan perombakan sistem pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Indonesia, dari selama ini menekankan semata pada buku teks yang statis menjadi merujuk pula pada “open sources of information” yang dinamis, membuka ruang lebih besar bagi mahasiswanya untuk mengembangkan cara berpikir berdasarkan nalar (reasoning arguments). Solusi ini juga sejalan dengan semangat konsep “Kampus Merdeka”.
- Kurikulum didesain ulang dengan menambahkan muatan materi ajar Berpikir Logis, Familiarisasi Penggunaan Komputer, dan “Industry 4.0”, “Enterpreunership” (Kewirausahaan), serta Pendidikan Karakter, di semester-semester awal perkuliahan. Materi ajar agar disusun dengan sederhana, mudah dipahami, namun “thought provoking”, menggugah mahasiswa mencari tahu lebih banyak dari sumber-sumber terbuka mengenai isu atau topik kuliah.
- Perombakan metode ajar dosen, agar mereka memberikan materinya secara garis besar atau berupa pointers isu-isu terkait mata kuliah dan diskusi interaktif, dengan mengajak mahasiswa-mahasiswi bertukar pikiran, selain membaca buku-buku referensi yang selektif. Dosen seyogyanya mendorong semua mahasiswa-mahasiswi di kelasnya untuk berbicara dan aktif berpendapat, serta dalam forum diskusi terbuka yang diadakan kampus.
- Perguruan-perguruan tinggi dapat menerapkan pemberian insentif tambahan oleh dosen-dosennya kepada mahasiswa yang bertanya, memberikan pendapat, atau aktif berdiskusi di dalam kelas. Sebaliknya, bagi mereka yang pasif di dalam kelas, dosen dapat mempertimbangkan hal tersebut sebagai faktor pengurang nilai akhir mata kuliah meskipun nilai-nilai kuis tengah semester dan ujian akhir semester mereka bagus. Metode ini sejalan dengan semangat konsep “Kampus Merdeka”.
- Dalam jangka panjang, proses penyiapan lulusan perguruan tinggi yang berkualitas, berkompetensi, dan berdaya saing dapat dilakukan dengan mencontoh kebiasaan “kiasu” dan “kiasi” yang diterapkan orang tua-orang tua mayoritas warga Singapura. Kebiasaan bersaing dengan sehat, tidak mau kalah begitu saja, dan tidak mau berbuat salah dapat mulai ditanamkan para orang tua, sekolah, dan lingkungan sekeliling terhadap anak-anak Indonesia sejak sedini mungkin hingga studi di perguruan tinggi..
- Di sisi dosen, mereka seyogyanya senantiasa diberikan training penyegaran, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas mereka, namun berorientasi pada upaya meningkatkan kualitas dan daya saing mahasiswa didiknya.
- Dari perspektif perguruan-perguruan tinggi, mereka berkewajiban memastikan proses perkuliahan berlangsung efektif, namun memberikan daya tarik bagi mahasiswa, interaktif. Dalam kaitan ini, Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) perlu menerapkan indikator penilaian Perkuliahan Interaktif sebagai salah satu prasyarat bagi perguruan tinggi yang ingin mempertahankan atau menaikkan akreditasinya.
- BAN-PT dan Kemdikbud kiranya dapat menerapkan tingkat penerimaan dunia kerja terhadap lulusannya (Employability Rate of University’s Graduates) sebagai salah satu indikator penilaian terhadap perguruan-perguruan tinggi di Indonesia. Indikator lainnya adalah seberapa besar persentase atau seberapa banyak lulusan perguruan-perguruan tinggi di Indonesia yang memilih berwirausaha dan berhasil dalam kewirausahaannya itu. Sebagai insentif, untuk indikator penilaian Employability Rate lulusan perguruan tinggi, semakin tinggi semakin berpeluang perguruan tinggi tersebut dinaikkan akreditasinya. Sebaliknya, bagi perguruan-perguruan tinggi yang menurun Employability Rate lulusannya, atau bahkan mendekati nol, diturunkan akreditasinya.
- Sarana dan prasarana minim yang dimiliki perguruan tinggi dapat mempengaruhi secara negatif gairah belajar mahasiswa, namun tidak mutlak dapat dianggap sebagai faktor penyebab langsung relatif rendahnya kualitas perguruan.
- Kenyataan yang ditemui Mendikbud Nadiem baru-baru ini mengenai masih adanya daerah-daerah yang belum ada koneksi listrik dan internet menyadarkan kita perlunya kerja sama atau dukungan PT. PLN dan PT. TELKOM atau provider internet. Solusi yang dapat ditempuh adalah Kemdikbud menjalin kerja sama melalui Memorandum Kesepahaman kerja sama dengan PT. PLN dan PT. TELKOM atau provider internet penting untuk menjamin pasokan listrik dan akses internet bagi perguruan-perguruan tinggi di daerah-daerah perbatasan atau terisolasi.
.
Kombinasi antara sebagian atau seluruh pilihan solusi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas, kompetensi, dan daya saing lulusan perguruan tinggi, yang sebagian besarnya sesungguhnya sangat tergantung motivasi, harapan atau cita-cita mahasiswa, serta sejauh mana upaya yang telah dilakukan atau kegigihannya.
Jakarta, 8 Mei 2020
_____________________________
[1] Aparatur Sipil Negara (ASN), bekerja di salah satu instansi pemerintah. Opini adalah pandangan pribadi yang bersangkutan sebagai pengamat dan tidak mewakili tempatnya bekerja.