Oleh : Aditya Ferdiansyah
Akhir dari pendidikan formal adalah Perguruan Tinggi. Tempat dimana harapan besar digantungkan pada pundak-pundak pembelajar didalamnya. Entah harapan yang hanya sekedar untuk diri dan keluarga saja, yang penting setelah lulus dapat pekerjaan baik dan gaji besar. Ataupun harapan besar dari sebuah negara yang mengharapkan tongkat estafet kepemimpinan bangsa akan jatuh padanya. Harapan tersebut tentunya tidak ada yang salah. Walaupun pada kenyatannya terkadang sulit untuk dicapai.
Dapat kita lihat, bahwa banyak sekali lulusan Perguruan Tinggi yang justru tidak menjadi apa-apa. Jangankan memiliki prestasi dalam suatu bidang atau kegiatan tertentu, untuk bekerja saja, mereka sulit mendapatkannya. Analisa yang sering dilontarkan adalah bahwa mereka merupakan lulusan yang tidak kompeten, sehinga sulit mendapatkan pekerjaan. Benarkah demikian ? Penulis mencoba menganalisa dalam tulisan ini dan mencoba memberikan solusi.
Pertama, jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia yang sangat banyak, menimbulkan konsekuensi lulusan yang juga banyak. Data menunjukkan bahwa jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia mencapai kurang lebih 4.539 yang menjadikan Indonesia salah satu negara dengan Perguruan Tingi terbanyak di dunia. Bahkan, China yang merupakan negara dengan penduduk terbanyak di dunia yang menyentuh 1,5 milyar penduduk, hanya memiliki sekitar 1.500-an Perguruan Tinggi. Hal tersebut tentunya membutuhkan daya tampung lapangan kerja yang besar juga. Namun pada kenyataannya, dunia kerja tidak mampu untuk menampung semua lulusan tersebut. Maka konsekuensi logisnya adalah penyeleksian. Hasil dari seleksi tentunya ada yang diterima dan ada yang tidak. Selain itu, proses penerimaan sampai bekerja pun tidak hanya dilihat dari kompetensi, melainkan kuantitas yang dibutuhkan dunia kerja tersebut. Karena tidak mungkin, sebuah perusahaan menerima banyak pelamar, sekalipun mereka berkompetensi. Hal tersebut yang membuat penulis berpendapat, bahwa sejatinya, bukan masalah kompetensi yang menimbulkan pengangguran terdidik. Melainkan jumlah lapangan kerja yang sesuai dengan kompetensi yang terbatas. Sehingga ketika kuota penerimaan tersebut telah terpenuhi, mereka yang berkompetensi pun tidak akan mendapatkan tempat tersebut, karena sudah diisi oleh yang lain, yang kompetensinya mungkin sama, hanya saja ia lebih dahulu mendaftar.
Kedua, Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, pernah menyinggung salah satu universitas ternama, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), yang dikatakan lulusannya banyak bekerja di Bank, padahal kampus tersebut adalah kampus yang fokus utamanya ialah pertanian. Hal tersebut menimbulkan hipotesa sederhana bagi penulis, yakni :
- Benarkah, sekelas kampus tersebut, kompetensi yang diberikannya tidak link and match dengan dunia kerja ?
- Atau mungkin, karena lapangan pekerjaan dalam bidang yang diambil sewaktu kuliahnya tidak ada atau sedikit ?
- Atau memang lulusan tersebut salah ambil jurusan ? atau hanya berkuliah untuk sekedar mendapatkan ijazah saja, setelah itu melamar dimanapun yang penting kerja ?
Ketiga, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Profesor Dr. Ali Ghufron Mukti, M.Sc., Ph.D pernah mengungkap sebuah data yang mencengangkan saat beliau menjadi salah satu pembicara dalam sebuah acara Education Outlook pada tahun 2018. Beliau menyampaikan, bahwa mahasiswa Indonesia hanya sekitar 5% yang menempuh program studi pertanian, 16 % teknik, sedangkan yang terbanyak lulusan bidang sosial dan politik (Sosial Humaniora) jumlahnya lebih dari 50 %. Hal tersebut menunjukkan ketimpangan dalam dalam pemilihan program studi, yang akan berpengaruh terhadap daya tampung industri tersebut , serta persaingan dari lulusan jurusan yang terbanyak mahasiswanya tersebut semakin besar. Maka wajar ketika lulusan suatu program studi yang sangat banyak, maka industrinya tidak mungkin dapat menampung semua, alhasil mereka yang tidak dapat pekerjaan sesuai dengan kompetensinya akan memilih opsi pekerjaan lain, sedangkan pekerjaan lain tersebut tentunya mencari orang yang sesuai dengan spesifikasi pekerjaannya. Sehingga dari sana timbulah pengangguran. Bukan karena mereka tidak berkompetensi, tetapi kuotanya sudah tidak ada.
Lantas Apa Solusinya ?
Pertama, perlu adanya pembatasan dalam mendirikan Perguruan Tinggi di Indonesia. Data yang disampikan diatas menunjukkan bahwa Indonesia memberikan cukup kebebasan untuk mendirikan Perguruan Tinggi dengan bebas. Memang hal tersebut baik untuk bisa menampung berbagai pelajar yang ada di Indoenesia. Tetapi perlu juga untuk mengkalkulasi lapangan kerja yang ada. Banyaknya Perguruan Tinggi mengartikan setiap tahun akan selalu ada gelombang besar lulusan. Maka pendapat penulis, tidak mungkin lapangan kerja setiap tahun akan selalu tercipta yang baru, sekalipun lapangan kerja yang lama melakukan pengembangan dan menambah jumlah kuota tenaga kerja, tentu hal tersebut juga tidak akan bisa mengatasi gelombang besar tersebut. Apakah lapangan kerja akan selalu berbanding lurus dengan jumlah lulusan pencari kerja, menurut penulis tidak. Jika di analogikan, “Apakah ketika jumlah kendaraan terus bertambah, maka pembukaan jalan akan terus dilakukan ?”. Jika seperti itu maka jangan berharap akan tersisa lahan kosong, penghijauan dan lain sebagainya akan ada, sebab semuanya telah dibuat jalanan. Maka solusinya ialah pembatasan dan pengaturan yang ketat. Hal itu pun berlaku pada Perguruan Tinggi dengan lapangan kerja.
Kedua, setelah adanya pembatasan pendirian Perguruan Tinggi, hal selanjutnya ialah menentukan pembukaan kuota jurusan berdasarkan kebutuhan pasar yang ada bukan berdasarkan minat terbanyak dari pemilih. Penulis melihat, bahwa saat ini penentuan kuota jurusan berdasarkan jumlah peminat, sehingga ketika jurusan tersebut banyak diminati, maka tahun berikutnya kuotanya akan ditambah. Hal tersebut juga harus ditambah ketegasan pihak kampus dan juga pemerintah untuk bisa mengatur porsi kuota jurusan disetiap kampus untuk memenuhi sektor-sektor usaha yang belum banyak tersentuh. Karena selama ini sektor-sektor yang banyak tersentuh ialah sektor-sektor pekerjaan berdasi saja, pekerjaan seperti bertani, berkebun, beternak, budidaya dan sektor-sektor tak berdasi jika penulis istilahkan jarang diminati. Sehingga para lulusan hanya berkumpul pada satu titik sektor saja yang terbatas. Oleh karena itu pemerintah dan pihak Perguruan Tinggi harus menaruh lulusan-lulusannya pada semua sektor, bukan berkumpul pada satu sektor. Jalannya ialah dengan mengatur kuota jurusan perkuliahan dengan indikator kebutuhan pasar, bukan peminatan jurusan tersebut yang banyak. Sehingga dengan begitu, kompetensi lulusan mendapatkan tempatnya, tidak mubazir dan tidak dipersepsikan lulusan tidak berkompeten, padahal sebenarnya wadah untuk menampung kompetensi tersebutlah yang sudah tidak ada, maka terjadi pengangguran terdidik.
Selain itu, sistem pembelajaran Perguruan tinggi harus lah interaktif sehingga terjadi diskusi yang hidup untuk bisa membuka jalan pikiran para mahasiswa.
Pertanian tidak hanya mengenai pekerjaan yg harus turun ke sawah. Tetapi bisa membuat lembaga yg berhubungan dgn pertanian, konsultan tani yg bisa memberikan solusi terhadap para petani di berbagai wilayah di Indonesia, dll.
Begitupula dengan para lulusan sastra. Dia bisa terjun dgn ranah apa saja yg berhubungan dgn keahlian Bidangnya. Penulis buku, penulis naskah, jurnalis, editor, lembaga konsultan bahasa, dll.
Solusi yang baik, menurut saya juga memang seharusnya lebih di perketat lagi untuk penerimaan mahasiswa. Dan juga mengatur kuota jurusan perkuliahan dengan indikator kebutuhan pasar, bukan peminatan jurusan tersebut yang banyak. Good 👍
Solusi yang baik, menurut saya juga memang seharusnya lebih di perketat lagi untuk penerimaan mahasiswa. Dan juga mengatur kouta sesuai kebutuhan pasar. Good 👍
Good