oleh : Ahmad Akbar (Mahasiswa Statistika universitas Hasanuddin)
Fenomena paradoksal membalut dunia pertanian Indonesia. Di satu sisi, Statistik Pendidikan Tinggi tahun 2018 menunjukkan ada lebih dari 810.000 insan intelektual bidang pertanian lahir dari rahim kampus tiap tahunnya. Namun di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam rentang sepuluh tahun, jumlah rumah tangga tani menurun drastis hingga 16,32% atau 31,23 juta rumah tangga tani. Begitulah data dari Sensus Tani (ST) tahun 2003 ke tahun 2013. Perbandingan data dari tahun 2013 dan 2018 juga menunjukkan rekam jejak yang tidak jauh berbeda. Jumlah rumah tangga tani senantiasa menurun.
Penurunan yang tinggi disebabkan oleh rendahnya pendapatan petani untuk meregenerasi usahanya. Hal ini tergambar pada penghasilan rata-rata petani yang tidak lebih dari satu juta rupiah per bulan. Angka ini masih jauh dari rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan oleh pemerintah. Oleh sebab itu, mayoritas petani beralih profesi dengan harapan memperoleh penghidupan yang lebih layak. Para sarjana pertanian pun enggan untuk bertani. Sebagaimana data dari BPS tahun 2017, hanya ada delapan persen generasi muda di bawah 35 tahun yang berkecimpung di dunia pertanian.
Tak ada kemerdekaan di lahan tani. Yang ada, penjajahan dari para tengkulak yang menguasai nadi pasar pertanian. Mata rantai distribusi semakin panjang, sehingga penghasilan petani di akar rumput semakin sedikit. Tak ada kepastian penghasilan. Yang ada, ketergantungan terhadap kondisi yang tak menentu. Tak ada inovasi pertanian berkelanjutan. Yang ada, terus menanam dan menanam. Tak ada masa depan yang cerah. Yang ada makan hari ini pun sudah cukup. Ibarat gali lubang dan tutup lubang saja.
Ketika petani kita semakin sedikit, lantas kita akan makan apa?
Kita seakan lupa dengan pesan dari Ir. Soekarno dalam peletakan batu pertama Pembangunan Kampus Intitut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1952. Pesannya disampaikan dengan penuh semangat:
“Sodara-sodara, soal persediaan makanan rakyat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan! Kalau kita tidak camkan soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, secara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami celaka”
Begitulah semestinya komitmen kita bersama untuk pertanian. Bukan menyerahkan kematian kepada petani, sehingga kematian juga akan kita jumpai secara bersama. Sebagaimana teori populasi dari Thomas Malthus yang menyampaikan bahwa jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan kebutuhan hidup dapat meningkat secara aritmatik (deret hitung). Jika persediaan kebutuhan hidup yang tak tercukupi, maka selamat datang kematian dini.
Konsekuensinya jelas, ketidakseimbangan yang berujung kemiskinan, kelaparan bahkan kepunahan. Oleh karena itu, disinilah peran dari lulusan perguruan tinggi untuk menunjukkan kompetensinya. Sehingga kita tidak hanya terpaku pada kuantitas petani, namun juga mampu mengembangkan kualitas hidup petani. Sehingga secara otomatis, generasi intelektual dari rahim kampus mampu membuka jalan untuk membangkitkan tradisi bertani dengan sentuhan teknologi yang berkelanjutan.
Pepatah Arab menyebutkan bahwa, alfallaahu sayyidul bilaadi wa maalikuhul haqiqi. Seorang petani adalah tuan dari sebuah Negara dan pemilik wilayah yang sesungguhnya. Esensi inilah yang perlu ditumbuhkembangkan di tengah masyarakat khsususnya mahasiswa. Sehingga perhatian dalam pengelolaan pertanian menjadi prioritas kita bersama. Salah satu momentum kebijakan yang dapat diintegrasikan ialah gagasan kampus merdeka.
Konsep yang memberikan keleluasaan bagi mahasiswa dengan jatah dua semester untuk kegiatan di luar kelas. Jika orientasinya tidak jelas, maka jatah dua semester ini akan sia-sia. Oleh karena itu, perlu adanya target pengentasan masalah yang harus diwujudkan. Sehingga kampus merdeka yang merupakan bagian dari agenda merdeka belajar mampu diwujudkan dengan visi yang jelas dan penuh tanggung jawab. Sebagaimana semangat kemerdekaan adalah semangat menghidupkan, semangat memberdayakan, semangat untuk maju dan berkembang bersama, tanpa pandang deskriminasi.
Inilah yang akan meningkatkan kompetensi lulusan kampus, khususnya bidang pertanian. Para mahasiswa memanfaatkan jatah dua semester berkegiatan di luar kelas dengan bekerjasama pada berbagai sektor pertanian. Proses sinergi yang dilakukan di lapangan akan mematangkan kapasitas keilmuan mahasiswa. Mereka akan terlatih dengan pengelolaan pertanian sejak dini. Sehingga tidak hanya memahami aspek kognitif dengan menerapkan keilmuan yang dimilikinya, namun mampu mengembangkan aspek afektif dan psikomotoriknya. Aspek yang berhubungan dengan bagaimana mahasiswa melihat setiap gejala di lapangan, berpartisipasi dalam merespon, memberikan nilai atau keyakinan, melakukan internalisasi, menunjukkan komitmen, hingga resolusi konflik antarnilai yang akan membangun karakter mahasiswa.
Mahasiswa membangun sinergi bersama para penyuluh pertanian, tenaga pendamping desa hingga berkolaborasi dengan beberapa agenda sosial pihak swasta dalam mengembangkan pertanian. Semangat berkolaborasi inilah yang harus dioptimalkan dari pemuda yang merupakan generasi milenial, sesuai dengan survei dari dari Ad Age pada tahun 2017. Sinergi yang terbangun dari berbagai pihak inilah yang disebut dengan ekosistem inovasi strategis. Ekosistem yang menyatakan bahwa inovasi merupakan hasil interaktif yang melibatkan berbagai jenis aktor.
Setiap aktor berkontribusi sesuai fungsi kelembagaannya di masyarakat. Universitas (U), Industri (I), Pemerintah (P) termasuk dalam Triple Helix. Penambahan Masyarakat Sipil (MS) dan Masyarakat berbasis Media dan Budaya (MMB) menjadikannya sebagai Quadruple Helix. Konsep ini semakin meluas dengan adanya Quintuple Helix yaitu penambahan aktor Masyarakat dari Lingkungan Alami (MLA). Inilah yang akan dikolaborasikan oleh para mahasiswa.
Sulitnya sinergi terwujud selama ini ialah tidak adanya katalisator pembuka jalan perubahan. Disanalah mahasiswa berperan sebagai aktor pembangun titik temu sekaligus katalisator dalam ekosistem inovasi strategis. Hal ini dikarenakan mahasiswa mampu meretas kekakuan dengan karakternya yang dinamis, mobilitas tinggi, penuh inovasi dan berpihak kepada kepentingan bersama. Tidak hanya berpihak pada kelompok tertentu saja. Alhasil, peningkatan kualitas kompetensi lulusan kampus dapat terwujud.
Ketika kelak pada masa alumni, mereka tidak lagi gagap dengan dunia kerja khususnya pertanian. Mereka meyakini bahwa kekayaan sumber daya alam benar-benar melimpah, seiring dengan potensi dan prospeknya yang besar. Tidak paradoksal nan ironis seperti saat ini. Ketika lulus, mereka tidak lagi berpikir tentang menolong dirinya sendiri. Namun mampu menolong peradaban manusia secara umum, sekaligus menolong para petani secara khusus. Kampus Merdeka – Merdekakan Petani!
Tentang Penulis
Ahmad Akbar, pemuda yang lahir di Ujung Pandang, 07 Juni 1995. Kini merupakan mahasiswa aktif Statistika Universitas Hasanuddin. Penulis juga sementara menulis buku ketiganya yang berjudul, Kebebasan Belajar. Sebelumnya, ia telah menulis buku mengenai Inspirasi Amanah Aspiratif dan Negeri Statistik.
Penulis berdomisili di Jl. Prof Mattulada NK 1 Tamalanrea, Makassar. Kontak: 081806484531. No. Rekening : 7770706957 a.n Ahmad Akbar (Bank Mandiri Syariah) Email: ahmad.akbarr9@gmail.com.