Ketika Adam ‘Alaihissalam tinggal di surga, Allah mempersilakan Adam ‘Alaihissalam untuk memakan apapun yang ada di dalam surga. Hanya, satu yang tidak boleh, “Akan tetapi, janganlah kamu dekati pohon ini (walaa taqraba hadzihi asy-syajarah).” (QS. Al-Baqarah [2]: 35).
Perhatikan ismul isyarah (kata tunjuk) yang digunakan pada ayat di atas! Al-Qur’an menggunakan kata “hadzihi” yang merupakan kata tunjuk dekat dan bermakna “ini”. Artinya, sebelum Adam ‘Alaihissalam melanggar larangan Allah, kedudukan Adam ‘Alaihissalam itu dekat sekali dengan Allah. Karenanya, redaksi Al-Qur’annya menyebutkan, “…pohon ini” bukan “…pohon itu”. Ini menunjukkan dekatnya kedudukan Adam ‘Alaihissalam di sisi Allah.
Akan tetapi, ketika Adam ‘Alaihissalam melanggar larangan Allah dengan memakan buah dari pohon terlarang itu, ismul isyarah-nya berubah dari “hadzihi” (kata tunjuk dekat) menjadi “tilka” (kata tunjuk jauh) yang bermakna “itu”.
Al-Qur’an menerangkan, “…Tuhan menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu (tilkuma asy-syajarah) dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagimu berdua?’” (QS. AL-A’raf [7]: 22).
Berubahnya kata tunjuk yang digunakan Al-Qur’an setelah Adam ‘Alaihissalam melanggar larangan Allah menunjukkan berubahnya kedudukan Adam ‘Alaihissalam di sisi Allah. Semula kedudukannya dekat di sisi Allah menjadi menjauh karena pelanggaran itu.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, semestinya kisah Adam ‘Alaihissalam ini menjadi pelajaran bagi kita. Yakni, setiap dosa dan pelanggaran syariat yang kita lakukan menjadikan kita semakin menjauh dari Allah Subhanahu Wata’ala. Jika kita menjauh dari Allah, bagaimana mungkin kita bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup? Yang terjadi adalah hidup kita kering kerontang. Mungkin secara fisik materi dunia kita berkecukupan, bahkan mungkin lebih dari cukup. Namun, jiwa dan ruh kita merana dan meronta.
Dosa akan menggelapkan hati kita. Sedang, hati adalah tempat menerima pancaran cahaya hidayah dan taufik. Bila hati gelap pekat, mana bisa menerima cahaya hidayah. Jadi, sebenarnya bukan Allah tidak memberikan hidayah, namun kitalah yang menolak datangnya hidayah dengan dosa dan maksiat yang menggelapkan hati.
Karena itu, tiada yang lebih indah dalam hidup ini selain Allah dekat dalam kehidupan kita. Allah berkenan hadir dalam setiap gerak langkah kehidupan kita. Caranya dengan menjauhi dosa dan maksiat. Sehingga, hati menjadi jernih dan mudah menerima pancaran cahaya hidayah dan taufik. Hidayah dan taufik dari Allah inilah yang menjadikan hidup kita terarah, damai, dan bahagia.
Salam,
Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
(Alfaqir ila ‘afwi Rabbihi)