Oleh : Khoridah Safinatunnajah
Demi menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten untuk menghadapi tantangan era industri 5.0, Kemendikbud datang dengan salah satu kebijakannya yaitu Kampus Merdeka. Sudah tentu banyak pro kontra yang datang, salah satunya adalah anggapan bahwa mempermudah kampus untuk berbadan hukum sama saja memperluas praktik komersiliasi pendidikan, yang mana hal ini sama sekali tidak berpihak kepada anak-anak yang kurang mampu. Miris memang, kebijakan belum terealisasi, tetapi sudah tercium bau-bau komersiliasi. Selain itu, memberikan waktu dua semester bagi mahasiswa untuk magang diperkirakan dapat memperluas peluang praktik eksploitasi tenaga kerja yang akan dilakukan perusahan-perusahaan kepada mahasiswa. Lagi lagi miris, belum terealisasi, tetapi sudah tercium bau-bau eksploitasi.
Namun sebenarnya, bukankah pihak yang dimaksud akan melakukan komersiliasi pendidikan tersebut adalah pihak kampus itu sendiri? Yang mana mereka juga merupakan rakyat Indonesia. Bukankah pemegang perusahan-perusahaan yang di anggap akan melakukan ekploitasi itu bisa jadi adalah rakyat Indonesia juga? Ya. Prasangka tersebut memang tidak dapat terelakkan dikarenakan masyarakat telah mengasosiasikan kebijakan tersebut dengan praktik-praktik yang sebelumnya memang sudah pernah tejadi di negeri ini. Sekarang, kita berada pada zaman dimana seolah-olah kita melawan bangsa kita sendiri. Kita sudah sulit membedakan mana yang ‘kita’, mana yang ‘mereka’. Masing-masing dari kita telah egois terhadap kepentingan pribadi sehingga tidak lagi mementingkan kepentingan bersama.
Masih adanya prasangka akan terjadinya praktik-praktik tersebut dan krisis kepercayaan tehadap pemerintah juga menandakan bahwa rakyat Indonesia belum paham mengenai urgensi dari menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten. Jika seperti itu, bagaimana bisa integrasi, komitmen dan kolaborasi dapat dilakukan dalam pelaksanaan kebijakan revolusioner ini.
Jika berkaca dari perjuangan proklamasi kemerdekaan terdahulu, terintegrasinya bangsa Indonesia dilandaskan pada satu keinginan yang sama, yaitu keinginan untuk merdeka. Mereka mengetahui adanya urgensi untuk bebas dari penjajahan yang sangat menyengsarakan. Mereka pun sadar bahwa mereka tidak akan mencapai merdeka jika mereka tidak berjuang bersama.
Saat ini, disaat ‘kawan’ dan ‘lawan’ sulit untuk dibedakan, maka diperlukan edukasi khusus yang ditujukan ke pemerintah, tenaga pendidik, mahasiswa dan pihak-pihak bersangkutan mengenai informasi aktual yang terjadi pada bangsa ini sehingga masing-masing dari kita dapat menyadari betapa pentingnya kita untuk bersinergi demi menciptakan lulusan-lulusan yang kompeten. Berapa hutang Indonesia yang sebenarnya, seberapa besar ketertinggalan bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lainnya, apa dampak dari ketertinggalan Indonesia terhadap kesejahteraan masyarakat, seberapa besar ketergantungan Indonesia terhadap bangsa lain, seperti apa gambaran nyata kesengsaraan masyarakat Indonesia, mengapa Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten. Jawaban nyata dan terbuka dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sangat dibutuhkan untuk membentuk suatu landasan revolusioner bangsa.
Ciptakan landasan yang kuat, maka komitmen akan tumbuh tanpa disuruh. Semua pihak terkait sudah pasti akan berkontribusi dengan caranya masing-masing untuk memajukan bangsa melalui kebijakan Kampus Merdeka. Pemerintah menjadi peran kunci dalam pembentukan landasan revolusioner ini. Jika pemerintah bersifat jujur dan terbuka, maka pemerintah akan berani bertidak tegas terhadap penyalahgunaan kebijakan yang ada. Masyarakat pun akan percaya jika kebijakan yang akan diusung pemerintah ini akan berpengaruh terhadap kemajuan bangsa. Ketika sudah memiliki landasan yang kuat, mahasiswa juga akan sadar dan bersemangat untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki sehingga mereka lulus sebagai lulusan yang kompeten. Oleh karenanya, penting bagi Indonesia untuk memformalkan edukasi terkait urgensi demi menciptakan lulusan-lulusan yang kompeten dan berpengaruh besar tehadap kemajuan bangsa.