Oleh: Halimatus Sadiyah
Dunia pendidikan perguruan tinggi saat ini sedang hangat membicarakan empat kebijakan kampus merdeka yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim dalam rapat koordinasi kebijakan pendidikan tinggi di kantor Kemendikbud, Senayan, Jumat 24 Januari 2020. Salah satu kebijakan tersebut yaitu memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar program studi dan melakukan pengubahan definisi Satuan Kredit Semester (sks). Banyak di kalangan masyarakat menganggap positif kebijakan ini dan digadang-gadang menjadi solusi dari permasalahan kompetensi lulusan perguruan tinggi yang tidak siap terjun di dunia kerja. Tapi tunggu dulu, jika kita bredel, ternyata kebijakan ini justru menimbulkan permasalahan baru di kalangan perguruan tinggi.
Perkuliahan sekarang ini khususnya universitas di setting untuk tatap muka karena lebih ditekankan pada basis kemampuan akademik sehingga muatan sks-nya lebih banyak teori dibandingkan praktik. Artinya universitas harus mengubah kurikulum yang lebih menekankan pada bentuk belajar yang relevan dengan kompetensi dan kebutuhan dunia kerja saat ini. Tentunya mengubah dan merumuskan kembali kurikulum membutukah analisis dan waktu yang tidak sebentar. Apalagi kebijakan baru ini belum teruji keberhasilanya. Berbeda halnya jika diterapkan di politeknik, yang mana basisnya memang ditekankan pada praktik ketimbang teori.
Permasalahan kedua yaitu administrasi. Jika mahasiswa bebas memilih mata kuliah 40 sks atau dua semester di luar program studi lain di luar kampusnya, bisa dibayangkan kesulitan yang dihadapi perguruan tinggi yang tidak terbiasa dengan sistem ini. Terutama di penataan dan penanganan sistem administrasi bagi mahasiswa yang pindah dari satu program studi ke program studi lain dan dari satu kampus ke kampus lain. Ditambah lagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah di program studi lain akan kesulitan memahami pelajaran karena perbedaan pemahaman dasar antara program studi.
Permasalahan ketiga sumber daya manusia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih terbatasnya sumber daya manusia yang handal dan profesional di perguruan tinggi Indonesia. Baik dari segi dosen pengajar maupun administrasi. Saat ini saja masih banyak ditemukan dosen pengajar mata kuliah tertentu tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan sang dosen yang berakibat pada cara pengajaran yang konvensional. Akhirnya mahasiswa tidak menerima secara maksimal penyampaian ilmu. Ditambah kebijakan kampus merdeka ini harus menyesuaikan perkembangan revolusi industri 4.0 yang berarti harus kuat pada pengusaan literasi digital dan teknologi.
Permasalahan keempat adalah mitra kerja. Mungkin sebagian besar perguruan tinggi sudah melakukan kerja sama dengan perusahaan agar lulusannya memiliki kompetensi dan daya saing yang dapat diterima serta siap di dunia kerja. Berdasarkan laporan forum ekonomi dunia (World Economic Forum) merilis peringkat daya saing global Indonesia dalam Global Competitiveness Index tahun 2019 menempati posisi ke 50 turun lima peringkat dari posisi tahun sebumnya. Posisi ini juga sangat jauh dari negara tetangga Malaysia yang menduduki peringkat ke 27 dan Singapura di posisi pertama dunia. Perguruan tinggi harus pandai memanfaatkan kerja sama secara maksimal dengan perusahaan swasta, organisasi nirlaba dunia, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), bahkan top 100 world university. Namum pertanyaannya apakah pihak yang bermintra dengan perguruan tinggi apalagi perusahaan besar mau menerima mahasiswa dengan kemampuan “pas-pasan”? Bagaimana juga penempatan magang program studi tertentu seperti mahasiswa ushuluddin? Apakah kemampuan bahasa asing kebanyakan mahasiswa sudah baik?
Solusi Bersama
Permasalahan-permasalahan di atas tentunya menjadi PR yang harus diselesaikan bersama, baik lembaga perguruan tinggi, pemerintah, swasta, lingkungan masyarakat dan mahasiswa itu sendiri. Pertama, dibuatnya kebijakan atau regulasi yang jelas dari pemerintah. Perguruan tinggi khususnya program studi juga harus diberikan kebebasan ruang gerak untuk menerapkan kebijakan ini. Mengambil mata kuliah di prodi lain atau di kampus lain harusnya sama sekali tak membatasi pemahaman dasar mahasiswa, apalagi melemahkan sistem pendidikan perguruan tinggi Indonesia. Setidaknya kementerian dan perguruan tinggi harus merumuskan kebijakan yang dapat menghasilkan lulusan dengan kompetensi sikap, pengetahuan, keterampilan umum dan keterampilan khusus.
Kedua, perguruan tinggi menyediakan mata kuliah prasyarat dan mengikuti pengantar mata kuliah program studi yang dituju bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah di program studi atau kampus lain. Bagi kampus yang tidak terbiasa dengan sistem ini bisa belajar pada sebagian kampus yang secara tidak langsung sudah lama menerapkan kebijakan ini. Seperti IPB yang menerapkan kurikulum mayor-minor, yakni mahasiswa dari program studi lain dapat mengangambil supporting courses untuk membantu pemahaman dasar dari prodi yang berbeda. Begitu pula terkait administrasi mahasiswa, perguruan tinggi harus bisa mengatur karena admnistrasinya tidak jauh berbeda dengan program pertukaran pelajar dan kelas tambahan atau semester pendek.
Ketiga, terkait sumber daya manusia, pemerintah bekerja sama dengan perguruan tinggi, dan lembaga swasta menerjunkan langsung praktisi profesional baik di bidang pendidikan maupun industri untuk mendidik mahasiswa terkait dunia kerja terkini. Tiap kampus juga lebih gencar memberikan pelatihan atau workshop gratis kepada mahasiswa dengan menggandeng perusahaan bertaraf internasional seperti Microsoft, Google, atau perusahaan nasional seperti Paragon. Pelatihan yang diajarkan tidak hanya sebatas penyampaian materi tapi juga tugas dan penilain kepada mahasiswa sehingga hasil atau keterampilan yang di dapat jelas.
Tidak hanya mahasiswa, dosen yang masih menerapkan pembelajaran secara “jadul” juga diberikan pelatihan kembali agar ter-upgrade. Pihak pemerintah dan perguruan tinggi sebaiknya harus siap dari segi sarana dan prasarana yang memadai, baik akses teknologi, media belajar, sumber data, dll. serta diberikan kemudahan seluas-luasnya agar kebijakan yang terlihat baik ini dapat terlaksana dan menghasilkan lulusan perguruan tinggi dengan kompetensi unggul.